Kamis, 31 Maret 2011

Gempa Tetap Menjadi Misteri Alam
Oleh Ahmad Arif

Kompas, 31 Maret 2011.Pengetahuan tentang gempa bumi dan tsunami sangatlah pendek, sependek ingatan manusia. Padahal, periode keberulangan bencana alam paling mematikan ini bisa jadi sangat lama. Gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan pantai timur Jepang, Jumat (11/3), merupakan bukti keterbatasan manusia dibandingkan kekuatan alam.

Keterbatasan pengetahuan manusia diakui Profesor Teruyuki Kato dari Earthquake Research Institute (ERI) The University of Tokyo. Kato adalah peraih penghargaan bergengsi di Jepang, The Invention Prize, karena mengembangkan global positioning system (GPS) tsunami monitoring system. Dengan sistem ini, Pemerintah Jepang bisa membuat estimasi dan menyampaikan informasi datangnya tsunami kepada warga sekitar pantai dalam hitungan menit.

Karena itu, dia menjadi salah seorang tumpuan pertanyaan masyarakat Jepang tentang ”kegagalan” ilmuwan dalam memprediksi dan mengantisipasi gempa raksasa yang melanda Jepang baru-baru ini. Senin (14/3), sejak pagi puluhan wartawan antre untuk menemui sang profesor.

”Jepang termasuk yang paling maju dalam memperkirakan gempa. Namun, gempa Jumat lalu mengajarkan, itu semua jauh dari cukup,” kata Kato.
Menurut dia, ilmuwan Jepang telah memperkirakan, gempa akan terjadi di sekitar Sendai, Prefektur Miyagi, dengan kemungkinan 99,9 persen dalam kurun 30 tahun. Kekuatannya diperkirakan 7,5 skala Richter (SR) dan akan diikuti tsunami setinggi 6 meter.

Perkiraan ini dibuat berdasarkan jejak rekam gempa dan tsunami di zona itu pada tahun 1896 dan 1933 dengan kekuatan 7-8 SR. ”Yang lebih kami takutkan adalah patahan Kanto dibandingkan Sendai,” katanya. Pada tahun 1923, patahan Kanto bergerak dan menyebabkan gempa berkekuatan 7,9 SR. Sebanyak 145.144 orang tewas.

Dengan perkiraan itu, dibuat tanggul setinggi 10 meter di beberapa area di pantai timur Jepang, termasuk di sekitar pembangkit nuklir Fukushima Daiichi. Namun, perkiraan meleset.

Gempa memang terjadi, bahkan lebih cepat dari perkiraan. Kekuatannya jauh dari prediksi, yaitu 8,9 SR. Belakangan, direvisi menjadi 9,0 SR. Tinggi tsunami yang menerjang lebih dari 10 meter dan menyapu pantai kurang dari 15 menit setelah gempa. Tak hanya menghancurkan permukiman dan pusat bisnis, tsunami menyebabkan reaktor nuklir Fukushima Daiichi terbakar, memicu krisis nuklir.

”Tsunami yang hanya 10-15 menit setelah gempa sangat pendek rentang waktunya. Jadi, kalau peringatan tsunami diberikan tiga menit setelah gempa dan sampai ke masyarakat lima menit kemudian, dalam waktu 10 menit lari dari pantai terlalu pendek,” kata Kato.

Memahami bumi

Kato mengakui, ilmu prediksi gempa dan peringatan dini terhadap tsunami masih sangat lemah. ”Ilmu prediksi tentang gempa dan tsunami terbatas. Kami belum bisa meramalkan dengan tepat, kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa akan terjadi,” kata Kato.

Sebelum gempa yang disusul tsunami dua pekan lalu, rekan Kato di ERI, Kenji Satake, pernah menduga bahwa 1.000 tahun lalu kawasan Sendai pernah dilanda tsunami besar, sama seperti Jumat lalu. Hal ini didasarkan jejak sedimen tanah yang terkubur di sekitar di kawasan itu. Namun, penelitian masih sangat awal, belum bisa menjadi rujukan mitigasi. ”Setelah gempa dan tsunami lalu, kami terpikir, jangan-jangan tsunami sebesar Jumat lalu pernah terjadi 1.000 tahun lampau,” kata Yozo Goto, juga dari ERI.

Pemantauan dengan GPS menunjukkan, pelat bumi bergerak perlahan, saling bertumbukan, dan dipastikan akan patah. Namun, kapan pelat bumi akan patah dan seberapa panjang patahnya, tak pernah bisa diprediksi dengan pasti.

Ilmuwan hanya mencatat, tujuh dari 11 gempa raksasa (berkekuatan di atas 8,5 SR) yang terjadi selama abad ke-20, yaitu kurun waktu 1950-1965. Tak ada gempa raksasa selama periode 1965 hingga 2004. Selama abad ke-19, hanya tercatat dua kali gempa raksasa di bumi ini. Catatan-catatan yang terbilang berumur muda sulit untuk memetakan pola gempa raksasa.

Apakah gempa raksasa akan terjadi tiap 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 1.000 tahun? Atau justru gempa raksasa itu terjadi secara acak? Kita tak pernah tahu angka berapa yang akan muncul?

Antisipasi teknologi

Kato mengatakan, satu-satunya jalan untuk meminimalkan dampak gempa dan tsunami adalah meningkatkan teknologi. ”Kekuatan gedung dan infrastruktur harus ditambah untuk antisipasi yang terburuk,” katanya.

Nyaris semua bangunan yang rusak di Jepang saat ini adalah karena tsunami, bukan akibat gempa. Gedung di Jepang bisa menahan kekuatan gempa hingga 7 skala (mercalli modification intensity/MMI) karena mereka belajar dari gempa Hanshin tahun 1995. ”Kita harus meningkatkan standar karena kita tak pernah tahu dengan pasti kekuatan gempa yang akan datang,” kata Kato.

Daerah-daerah yang memiliki jejak rekam tsunami harus terus ditinggikan tanggul-tanggulnya untuk antisipasi yang terburuk.

Dibandingkan gempa dan tsunami yang berkekuatan nyaris setara yang mengguncang Aceh pada 2004, antisipasi yang dilakukan Jepang bisa dibilang sukses dalam mereduksi jumlah korban.

Walau angka korban tewas gempa Jepang terus bertambah dan diperkirakan mencapai 20.000 jiwa, jika dibandingkan dengan Aceh masih terbilang kecil. Aceh menewaskan sekitar 200.000 jiwa, 10 kali lipat lebih banyak. Padahal, kota-kota di pesisir timur Jepang, seperti Sendai, Tohoku, dan Kesennuma, lebih padat dibandingkan Aceh. Bagaimana jika gempa besar melanda kota-kota kita? Sudah siapkah kita?

0 komentar:

Posting Komentar